Di antara keutamaannya:
1. Surat al-Fatihah merupakan surat yang paling mulia dalam al-Quran.
كُنْتُ
أُصَلِّي فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ
أُجِبْهُ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي. قَالَ:
أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ: {اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا
دَعَاكُمْ}. ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي
الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ؟ فَأَخَذَ بِيَدِي
فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ
قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ. قَالَ:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي
وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
Dalilnya: apa yang disampaikan Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu ‘anhu,
“Suatu
hari aku shalat, tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggilku, dan aku pun tidak menjawabnya. (Selesai shalat) aku
berkata, ‘Wahai Rasulullah, tadi aku sedang shalat.’ Beliau menjawab,
‘Bukankah Allah telah berfirman, ‘Penuhilah panggilan Allah dan Rasul
jika memanggil kalian’ (QS. Al-Anfal: 24)? Lalu beliau bersabda, ‘Maukah
kuajarkan padamu surat yang paling mulia dalam al-Quran
sebelum engkau keluar dari masjid?’ Kemudian beliau menggandeng
tanganku, tatkala kami hampir keluar dari masjid, akupun berkata, ‘Wahai
Rasulullah, bukankah engkau telah berkata akan mengajariku surat yang
paling mulia dalam al-Quran?’ Beliau bersabda, ‘Alhamdulillahirabbil
‘alamin adalah as-sab’u al-matsâni dan al-Quran yang agung yang
dikaruniakan padaku.’” (H.R. Bukhari).
Faidah: Hadits ini menunjukkan bolehnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil
orang yang sedang shalat sunnah, dan ini merupakan salah satu
kekhususan beliau saat hidup. Begitu pula seorang ibu berhak untuk
memanggil anaknya yang sedang shalat sunnah, sebagaimana diterangkan
dalam hadits riwayat Muslim yang menceritakan kisah seorang ahli ibadah
yang dipanggil ibunya saat shalat sunnah, namun tidak memenuhi
panggilannya, lalu ditimpa cobaan dari Allah ta’ala.
Adapun selain Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan
ibu, maka tidak diperbolehkan memanggil orang yang sedang shalat.
Andaikan ada yang memanggil pun orang yang shalat tersebut tidak harus
memenuhi panggilannya, kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk
menyelamatkan seseorang yang terancam bahaya besar [lihat: Tafsîr wa Bayân li A'zhami Sûrah fî al-Qur'an, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (hal. 12)].
2. Surat al-Fatihah merupakan cahaya
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: “بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ،
فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنْ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ
لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ. فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ:
هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا
الْيَوْمَ. فَسَلَّمَ وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ
يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ
الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
Ibnu Abbas bercerita, “Tatkala
suatu saat Jibril duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba-tiba terdengar suara (keras) dari arah atas. Jibril pun
mendongakkan kepalanya seraya berkata, ‘Itu suara salah satu pintu
langit yang baru dibuka hari ini dan tidak pernah dibuka sebelumnya.’
Lalu keluarlah dari pintu itu seorang malaikat. Jibril kembali berkata,
‘Ini adalah malaikat yang akan turun ke bumi, tidak pernah turun kecuali
hari ini.’ (Sesampainya di depan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam, malaikat tersebut) mengucapkan salam, seraya berkata, ‘Aku
membawa kabar gembira berupa dua cahaya yang dikaruniakan padamu,
tidak pernah diberikan kepada nabi sebelummu; Fâtihatul Kitâb dan (dua
ayat ter)akhir surat al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf
darinya (yang berisi permohonan) melainkan engkau akan dikaruniai apa
yang kau mohon.’” (H.R. Muslim).
3. Surat al-Fatihah adalah obat
Dalilnya: hadits Abu Sa’id al-Khudri:
انْطَلَقَ
نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ
الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ فَلُدِغَ
سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ
شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ
نَزَلُوا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ
فَقَالُوا يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ وَسَعَيْنَا
لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ
شَيْءٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي وَلَكِنْ
وَاللَّهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا فَمَا أَنَا
بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَصَالَحُوهُمْ عَلَى
قَطِيعٍ مِنْ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ
فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ قَالَ فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمْ
الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اقْسِمُوا فَقَالَ
الَّذِي رَقَى لَا تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ فَنَنْظُرَ مَا
يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟
ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا
فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Suatu
hari sekelompok sahabat Nabi melakukan perjalanan jauh. Di tengah
perjalanan mereka singgah di sebuah kampung kabilah Arab. Mereka
bertamu, namun penduduk kampung enggan untuk menjamu. Tiba-tiba kepala
kampung tersengat binatang berbisa. Penduduk kampung berusaha untuk
mengobati dengan segala cara, namun tidak berhasil. Ada di antara mereka
yang usul, ‘Andaikan kalian mendatangi sekelompok orang yang baru tiba,
siapa tahu ada di antara mereka yang memiliki sesuatu.’ Merekapun
mendatangi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata, ‘Wahai bapak-bapak, pembesar kami tersengat binatang berbisa,
dan kami telah berusaha dengan segala cara untuk mengobatinya namun sama
sekali tidak bermanfaat. Apakah ada di antara kalian yang memiliki
sesuatu?’ Sebagian sahabat menjawab, ‘Ya, demi Allah saya bisa
mengobati. Namun, kami telah bertamu tetapi kalian enggan menjamu kami.
Saya tidak akan mengobatinya kecuali setelah kalian berjanji akan
memberi upah.’ Mereka pun bersepakat untuk memberi segerombolan kambing.
Lalu,
sahabat tadi menghembus nafas berserta sedikit ludah dari mulutnya dan
membaca Alhamdulillahirabbil’alamin. Detik itu juga si kepala kampung
bangkit dan bisa berjalan, seolah tidak terkena apapun.
Merekapun
memenuhi janjinya untuk memberi upah. Sebagian sahabat berkata,
‘Bagilah.’ Orang yang meruqyah menjawab, ‘Jangan lakukan kecuali setelah
kita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menceritakan kejadian ini. Lalu kita lihat apa yang diputuskan Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Sesampainya di depan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka bercerita. Beliaupun
bersabda, ‘Dari manakah engkau mengetahui bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah (obat)?!. Apa yang kalian lakukan benar, bagikan (kambing tersebut) dan beri aku bagian.’ sembari beliau tersenyum.” (H.R. Bukhari).
Imam
Ibn al-Qayyim (w. 751 H) mengomentari hadits di atas, “Surat al-Fatihah
telah memberikan dampak yang luar biasa bagi penyakit tersebut;
sehingga penderitanya sembuh seperti sediakala. Ini merupakan obat yang
paling mudah. Andaikan seorang hamba bisa menggunakannya dengan baik;
niscaya ia akan memperoleh dampak menakjubkan berupa kesembuhan.
Suatu
saat tatkala tinggal di Mekah, aku menderita berbagai penyakit. Namun,
aku tidak menemukan dokter maupun obat. Akhirnya akupun mengobati diriku
sendiri dengan surat al-Fatihah, alhamdulillah aku merasakan
perubahan yang luar biasa. Kuceritakan hal itu kepada orang-orang yang
sakit, ternyata banyak di antara mereka yang pulih dengan segera.
Namun,
ada satu hal yang perlu diperhatikan di sini. Bahwa dzikir, ayat dan
doa yang digunakan untuk meruqyah serta mengobati, …… memang
mendatangkan manfaat dan kesembuhan. Hanya saja ia membutuhkan kesiapan
orang yang diobati dan kekuatan pengaruh orang yang mengobati. Manakala
kesembuhan tidak tercapai, bisa jadi dikarenakan lemahnya pengaruh orang
yang mengobati, atau karena orang yang diobati tidak siap, atau bisa
jadi dikarenakan adanya faktor kuat eksternal yang menghalangi
bereaksinya obat tersebut. Hal ini juga terjadi pada obat dan penyakit
jasmani. Terkadang tidak bereaksinya obat kembali kepada faktor
ketidakcocokan anatomi tubuh yang tidak cocok, atau kuatnya faktor
penghalang. Andaikan tubuh siap menerima obat; ia akan merasakan
dampaknya sesuai dengan tingkat kesiapan. Begitu pula halnya hati, jika
ia menerima ruqyah dan al-Qur’an secara total, dan orang yang mengobati
memiliki kekuatan keimanan yang kuat; niscaya penyakit akan lenyap.” [Ad-Dâ' wa ad-Dawâ' (hal. 8)].
4. Surat al-Fatihah merupakan dialog antara hamba dengan Rabb-Nya.
Dalam Shahîh Muslim (IV/324 no. 876) dari hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى: “قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي
نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ”. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “حَمِدَنِي
عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }, قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: “أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ }، قَالَ: “مَجَّدَنِي عَبْدِي” وَقَالَ مَرَّةً: “فَوَّضَ
إِلَيَّ عَبْدِي”. فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ }، قَالَ: “هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا
سَأَلَ” فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ}, قَالَ: “هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (surat al-Fatihah) [Lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/146)] antara diri-Ku dengan hamba-Ku dua bagian [maksud
dari pembagian menjadi dua bagian adalah: bagian setengah pertama surat
al-Fatihah sampai ayat kelima adalah pujian hamba untuk Allah,
sedangkan bagian setengah kedua yaitu dari ayat keenam sampai akhir
adalah permohonan seorang hamba untuk dirinya sendiri. Lihat: Tafsîr Sûrah al-Fâtihah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hal. 33-34)],
dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya. Tatkala insan
mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,’ Allah ta’ala
berkata, ‘Hambaku telah memuji-Ku.’
Jika ia mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah ta’ala berkata, ‘Hamba-Ku telah memuliakan diri-Ku.’
Saat
ia mengucapkan, ‘Penguasa hari pembalasan’, Allah ta’ala berfirman,
‘Hamba-Ku telah mengagungkan diri-Ku.’ Di lain kesempatan Allah berkata,
‘Hamba-Ku telah berserah diri pada-Ku.’
Manakala ia
mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu-lah aku menyembah dan hanya kepada-Mu-lah
aku memohon pertolongan’, Allah ta’ala berkata, ‘Ini (merupakan urusan)
antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang
dimintanya.’
Dan ketika ia mengucapkan, ‘Tunjukilah kami
jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri
kenikmatan, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat’, Allah ta’ala menjawab, ‘Inilah (hak) milik hamba-Ku,
dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya.’”
Imam Ibn
Rajab (w. 795 H) menjelaskan bahwa “hadits di atas menunjukkan bahwa
Allah mendengarkan bacaan orang yang shalat; sebab dia sedang bermunajat
(berbisik-bisik) dengan Rabb-nya. Dan Allah menjawab setiap bisikan hamba-Nya, kalimat per kalimat.” [Tafsîr Ibn Rajab al-Hambali dihimpun oleh Thâriq bin 'Awadhallâh (I/68-69)].
Maka
seorang hamba tatkala membaca surat al-Fatihah, hendaklah ia membacanya
dengan pelan ayat per ayat. Setiap membaca suatu ayat dia diam sejenak
menanti jawaban Allah akan munajatnya [lihat: Ash-Shalat wa Hukm Târikihâ karya Ibn al-Qayyim (hal. 172)].
Andaikan
kita meresapi keterangan di atas dan mencoba untuk merasakannya;
niscaya kita akan mendapatkan nikmatnya bermunajat dengan Allah ta’ala. Setiap dirundung masalah kita selalu bergegas menghadap Rabbul alamin. Memohon pada-Nya bantuan, pertolongan, limpahan kasih sayang dan curahan ampunan-Nya [An-Nazharât al-Mâti'ah (hal.27)]. Sebagaimana yang dipraktikkan teladan kita; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap dirundung masalah, beliau selalu bergegas shalat. Demikian yang diceritakan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dirundung masalah, beliau bergegas shalat.” (H.R. Abu Dawud (II/54 no. 1319) dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani) [Lihat: Shahîh Sunan Abi Dawud].
Dan jika datang waktu shalat fardhu beliau bersabda,
قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
“Berdirilah wahai Bilal (lantunkanlah adzan). Tenangkan dan istirahatkanlah kami dengan shalat.” (H.R. Abu Dawud (V/165 no. 4986) dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).
Ibn
al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan, bahwa maksud hadits di atas adalah:
dengan shalat hati kami akan tenteram dari pikiran tentang kewajiban
melaksanakannya. Atau kami akan merasa tentram dan bisa melepaskan
kepenatan beban pekerjaan duniawi yang melelahkan. Dengan shalat seorang
hamba akan merasa tenang, tenteram dan bisa beristirahat; sebab di
dalamnya seorang hamba bisa berkesempatan untuk munajat dengan Rabb-nya [An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar (II/274) dan lihat pula: 'Aun al-Ma'bûd karya Syamsul Haq al-'Azhîm Âbâdi (XIII/225)].
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.Artikel Terkait :
Definisi Al-Qur'an dan Keistimewaanya
Keistimewaan Surat Yasin
Keistimewaan Ayat Kursi
Cara Cepat Belajar Al-Qur'an
Kisah Nabi dan Rosul
Kumpulan Murotal Al-Qur'an
0 komentar:
Posting Komentar